Theo F Tumeon
Rupiah
terpuruk, perekonomian gonjang-ganjing, dan negara di ambang
kebangkrutan. Ekonom bersuara, tak ketinggalan pula para anggota DPR.
Pengamat baru bermunculan. Makin bingunglah orang. Uraian siapakah yang
jadi pegangan? “Tak ada yang bisa memberikan gambaran soal pasar uang
dengan lebih jelas selain para pemain Forex (Valas),” kata Theo
Francisco Toemion (42), pengamat pasar uang sekaligus pemain Forex
(Valas), meski kini lebih banyak membagi pengetahuan soal dunia yang
telah belasan tahun ditekuninya itu kepada orang lain.
Ada perbedaan antara pandangan para pakar dengan Theo F. Thoemion
sehubungan dengan krisis ekonomi yang memburuk sejak kuartal terakhir
tahun lalu. Pihak pertama lebih melihat krisis berpangkal pada lemahnya
sistem perbankan, kebocoran anggaran, buruknya pengawasan, monopoli,
kolusi, korupsi, nepotisme, dan ekonomi biaya tinggi. Sedangkan Theo
lebih melihat ulah spekulan di pasar uang sebagai sebab paling dominan.
Sisi-sisi negatif penyebab keroposnya fondasi ekonomi itulah yang
menyebabkan krisis tak segera bisa diatasi. Kalau Korea, Thailand,
Filipina, Singapura, dan Malaysia bisa pulih dalam hitungan bulan,
negara kita jauh lebih lama.
Sebagai pelaku pasar Forex (Valas), Theo tahu betul, tanda-tanda
bencana telah muncul sejak lama. Semuanya adalah permainan para fund
manager atau pemain pasar Forex (Valas), yang diwarnai keinginan untuk
menguji ketangguhan otoritas moneter suatu negara. Ia tahu bagaimana
pedagang besar Forex (Valas) – yang acap disebut spekulan – semacam
George Soros memainkan peran dalam Yendaka, melambungnya nilai tukar Yen
terhadap AS $, pada 1994. Ia juga mencatat, permainan para spekulan di
Eropa memaksa pembahasan mata uang tunggal Eropa (Euromoney) lebih
diintensifkan pada 1996. Selewat masa itu, para spekulan memang
menurunkan aktivitas. Tapi lewat media massa Theo memperingatkan,
“Hati-hati, bukan mustahil mereka akan mengalihkan perhatian ke Asia,”
begitu antara lain tulisnya saat itu. “Mereka menunggu kesempatan
bermain mata uang menarik, exotic currencies seperti Won, Bath, Peso,
Ringgit, atau Rupiah. Jangan lupa, Indonesia negara kaya. Karena itulah
mereka membidik kawasan ini, bukan ke Afrika, misalnya.”
Betapa tidak. Salah satu kawasan paling dinamis di dunia, dengan
pertumbuhan ekonomi tiap negara rata-rata 7%/tahun, itu tak punya
batasan berarti bagi lalu-lintas devisa. Otoritas moneternya juga belum
teruji. Kalau dalam persaingan di Amerika, Eropa, dan Jepang para
spekulan sering kalah, siapa tahu di kawasan ini. Maka bermainlah
mereka.
Pertengahan tahun lalu, saat pemerintah memperlebar pita intervensi,
mereka menangkap sinyal “tantangan” itu, dan terpacu gairah untuk
bermain dengan Rupiah. Ketika Oktober 1997 duet Soedradjat Djiwandono –
Mar’ie Muhammad memutuskan untuk melepas ambang intervensi, mereka pun
mendobrak. Rupanya, keputusan historis untuk membiarkan Rupiah
mengambang bebas itu tak didukung kondisi yang cukup. Nilai tukar
dikuasai dan dimainkan, bahkan dalam seminggu bisa terdepresiasi sampai
50%. Utang membengkak, harga barang melonjak, produksi mandek, banyak
perusahaan bangkrut. Inflasi membubung, dan perekonomian nyaris ambruk.
Tak disangka, fondasi ekonomi kita demikian keropos.boleh ada berita
buruk.
Ada 4 faktor yang menurut Theo bisa jadi penentu naik turunnya kurs:
fondasi ekonomi makro, carta/grafik berdasarkan rumus, faktor
teknis-psikologis, dan ulah para spekulan. Soal fondasi ekonomi, menurut
Theo, pasar telah mendapat bukti rentannya perekonomian kita. Carta
atau grafik pun sudah dibuat saat kita menempuh rezim devisa terkontrol;
misalnya dengan mematok depresiasi tahunan 3 – 4%. Sedangkan faktor
psikologis sangat berhubungan dengan ulah spekulan, apa lagi dalam rezim
devisa bebas. “Sekali pasar memperoleh bukti mata uang suatu negara
bisa didikte, mereka mendikte terus.”
Pendiktean harga, yang terjadi setelah ada dorongan psikologis,
berawal dari berita-berita politik yang berpotensi “dimainkan”. Theo
menunjuk contoh, seluruh dunia tahu Indonesia pra-11 Maret 1998
menghadapi suksesi. Maka berita tentang Presiden Soeharto dan situasi
sosial politik menjadi bahan permainan spekulan. Keadaan sakit, yang
dalam bahasa Inggris bisa dirumuskan dalam beberapa kata, mulai dari
He’s sick, He’s ill, sampai He’s seriously ill, mengakibatkan beraneka
nilai kurs.
Memang benar. Menurut catatan Theo, grafik penurunan itu berlangsung
sejak bank sentral ketahuan tak punya nyali sehingga menyebabkan Rupiah
turun dari Rp 3.000,- ke Rp 3.800,- terhadap AS $. Angka turun lagi ke
Rp 4.400,- karena Pak Harto istirahat. Kemudian menjadi Rp 4.800,-
karena imbas krisis Korea, turun ke Rp 5.600,- karena Pak Harto batal ke
Malaysia, dan dari Rp 6.200,- ke Rp 9.000,- karena pencalonan B.J.
Habibie sebagai wakil presiden. Kurs membaik setelah penandatanganan
nota kesepakatan dengan IMF 15 Januari, namun turun lagi setelah terjadi
beberapa kerusuhan dan demonstrasi.
Kenyataan itu membuktikan, dalam rezim devisa bebas segala berita dan
peristiwa baik menjadi syarat utama. Dalam berbagai kesempatan Theo
mengingatkan, membiarkan Rupiah mengambang bebas sama dengan bunuh diri
tanpa dibarengi perbaikan di segala sektor yang akhirnya melahirkan
berita buruk. Percuma ada janji segala macam reformasi, penghapusan
monopoli dan oligopoli, tetapi tak ada wujudnya.
Dapat dimengerti, naik-turunnya nilai Rupiah tak lagi ditentukan oleh
hukum ekonomi, keseimbangan antara penawaran dan permintaan. “Tak ada
teori yang bisa menjelaskan hal ini,” kata Theo. “Saat masyarakat makin
tahu persoalan, omongan para ekonom sering diabaikan. Pemain seperti
saya yang diperhatikan”
Lantas, berapa kurs AS $ yang wajar? “Ambil nilai terakhir sebelum
krisis Rp 2.400,-. Ditambah 80%-lah, sekitar Rp 4.320,-.” Penjelasannya,
dalam 10 tahun terakhir perbedaan suku bunga antara AS $ dan Rupiah
sekitar 10%. Suku bunga AS $ 5% dan suku bunga Rupiah 15%. Selisihnya
10%, dan dalam 10 tahun menjadi 100%. Sementara depresiasi per tahun,
katakanlah 4%. Jadi dalam 10 tahun menjadi 40%. “Nah, selisih antara
perbedaan suku bunga dan depresiasi dalam 10 tahun, 100% – 40% = 60%.
Tak usah dipatok 60%; beri kemungkinan sampai 80% untuk ditambahkan pada
kurs terakhir. Jadi 180% dari Rp 2.400,- = Rp 4.320.”
Tapi sekali lagi kenyataan membuktikan, segala teori dan hukum ekonomi tak berlaku bagi kurs yang liar karena permainan.
Kalau kita konsisten, pasar akan respek
Dunia perdagangan Forex (Valas) dewasa ini bagaikan dikontrol para fund
manager besar yang disebut big boys. Menurut Theo, jumlah big boys yang
tercatat saat ini 2.500 orang. Akumulasi modal mereka sekitar AS $
1.300 miliar, dan dalam keadaan terpaksa bisa mendapat pinjaman hingga
10 kali lipatnya. Jumlah ini sungguh raksasa, sebab cadangan devisa
negara-negara kaya yang tergabung dalam OECD pun kalau digabung tak
lebih dari AS $ 700 miliar. Maka bisa dibayangkan betapa konyolnya
gagasan untuk melawan spekulan dengan cadangan devisa hanya AS $ 20
miliar, misalnya.
Dari 2.500 big boys itu terbawa serta ribuan orang lain sebagai mitra
atau pelaksana. Sudah menjadi kebiasaan, pengambilan posisi para
pelaksana ditentukan oleh tokoh besar. Jika Soros, misalnya, mengambil
posisi Rp 9.000,- untuk 1 AS $, yang lain pasti mengikuti. Jika esoknya
Soros menjual dengan harga Rp 9.500,-, yang lain pun pasti ikut. Semua
serempak, dan begitulah nilai mata uang dimainkan.
Kalau mata uang suatu negara dipatok pada nilai tetap, spekulan
memang tidak lagi bisa main. Hanya saja, menurut Theo, konsekuensinya
ada dalam perekonomian negara yang bersangkutan. Bagi Theo, reformasi
ekonomi apa pun yang dipilih pemerintah tak penting benar, asal bisa
mengatasi segenap konsekuensinya. Misalnya, pelepasan batas intervensi
mensyaratkan perbaikan ekonomi total, sedangkan pematokan nilai uang
mensyaratkan cadangan devisa yang cukup dan perbankan yang sehat.
“Tak bisa pula dilepaskan faktor keberanian bank sentral. Kepada
siapa pun yang mau memaksakan kehendak, bank sentral tak boleh setengah
hati. Kalau perlu habis-habisan berintervensi. Jika ini terus berlanjut,
dan dunia membuktikan konsistensi kita, pasar pun akan segan,” kata
Theo. “Betapa pun kuat dan nafsunya spekulan, kalau menghadapi otoritas
moneter yang teguh dan konsisten, mereka juga berpikir untuk main-main.
Seperti pernah dialami Hongkong, para spekulan menghentikan serbuan
karena tahu Inggris berada di belakangnya. Tak seorang pun ragu
ketangguhan sistem keuangan Inggris.”
Kasus Indonesia, menurut Theo, adalah bukti kesekian dari pelecehan
para big boy terhadap otoritas moneter. Permainan selisih kurs antara
Rupiah – AS $ jauh lebih mudah ketimbang permainan selisih kurs Yen – AS
$ atau Mark Jerman – AS $ yang didukung otoritas moneter sangat
berwibawa, dan karenanya disebut hard currencies. Akibatnya sangat mudah
diterka, bahkan oleh ibu-ibu rumah tangga, pihak yang acap disalahkan
karena dikira ikut-ikutan berspekulasi. Masalahnya, menurut Theo, selain
tuduhan itu tak benar karena jumlahnya tak seberapa dibandingan dengan
aktivitas pasar uang, pemikiran para ibu sangat simpel. Jika dulu mudah
menghitung depresiasi, 3 – 4% setahun, siapa sangka tiba-tiba depresiasi
bisa 20% dalam sehari? Kalau punya simpanan Rupiah dan berbunga,
katakanlah 40%, pada akhir tahun tak akan mencapai jumlah jika
didolarkan. Pada akhirnya memang tak ada pihak yang bisa disalahkan
kalau terjadi perburuan mata uang asing, karena negara menganut rezim
devisa bebas.
Menggelinding seperti bola salju
Di pasar uang, komoditas yang diperdagangkan tak cuma valuta asing.
Menurut Theo, meski pemerintah mematok kurs Rupiah, tak berarti kegiatan
berhenti. Ada pelbagai macam surat berharga dan surat-surat komersial
yang diperdagangkan.
Memang, belakangan problem ekonomi negara kita tak cuma berasal dari
dalam negeri, melainkan dari luar negeri. Lembaga pemeringkat semacam
Standard’s & Poor, sekalipun banyak dicibir, pengaruhnya terhadap
pasar sangat besar. Peringkat buruk yang disandangkan kepada Indonesia,
Maret lalu, adalah klimaks dari kesulitan eksternal. Alat pembayaran
berjangka seperti letter of credit (L/C) tak diterima, investor asing
pun tak serta merta datang buat menanamkan modal. “Dengan peringkat itu,
pembeli kertas berharga dari Indonesia tak lagi dianggap berinvestasi,
melainkan dicurigai mau berspekulasi,” kata Theo. “Kalaupun saya,
misalnya, menempatkan diri sebagai broker untuk mendatangkan uang dari
investor asing, sekarang ini sangat sulit. Ketidakpercayaan demikian
kuat, perlu waktu lama untuk memulihkannya.”
Pasar uang dunia memang sulit dilawan. Kalau kekayaan big boys sangat
besar, itu konsekuensi dari hakikat pasar uang. “Istilahnya a snowball
business, bisnis yang menggelinding bagai bola salju. Orang harus jadi
besar untuk survive.”
Bisnis pasar uang, menurut Theo, menganut filosofi dasar: bukan soal
berapa jumlah uang yang akan Anda peroleh, melainkan berapa jumlah uang
yang siap Anda habiskan. Gambarannya, jika seseorang kerja keras
sepanjang tahun hingga memperoleh uang Rp 1 miliar, akan sangat keliru
kalau menggunakannya untuk main forex. Tetapi jika seseorang mendapat
lotere Rp 1 miliar, yang Rp 800 juta untuk beli rumah/tanah, Rp 100 juta
untuk beli kendaraan, dan sisanya untuk main forex, silakan saja.
“Maka, kalau ada seorang fund manager siap menghabiskan AS $ 5 miliar di
pasar forex, tak terbayang berapa besar kekayaannya”
Bisnis di pasar uang tak sama dengan judi. Kata Theo, jika judi nasib
pelaku 100% tergantung pada kartu, “Di pasar uang ada hal-hal yang bisa
diperhitungkan dan dicarikan peluang.”
Menurut Theo, ada 7 tingkat yang harus dicapai untuk betul-betul
memahami bisnis ini. Selain 4 faktor penentu nilai mata uang yang sudah
disebut tadi, ada beberapa hal lain seperti lobi atau hubungan, termasuk
kemampuan berbahasa, faktor intelijen alias daya endus informasi, dan
hal paling abstrak dan sulit, sehingga orang tak sanggup berpikir lagi.
“Misalnya, semua faktor telah terpenuhi, prediksi sudah dilakukan, tapi
tak ada action. Ketika faktanya sama dengan yang sebelumnya telah
diperhitungkan, muncul rasa sesal kenapa tidak begini kenapa tidak
begitu. Itulah yang saya maksud tingkat ketujuh.”
Sekalipun menggiurkan, bisnis di pasar uang penuh kekecewaan. “Karena
apa? It’s about money. Orang hanya tergiur melihat angka. Mereka
ramai-ramai bermain, sementara tatanan dan hukumnya tak mudah
dipelajari. Lagi pula dunia itu sudah dikuasai mafia, big boys, dalam
cara kerja yang terintegrasi. Apa pun permainan para pendatang,
mafia-lah yang memperoleh keuntungan”
Menurut Theo, setelah perang dingin reda dan komunisme runtuh, tak
ada lagi kekuatan yang punya daya penghancur sangat dahsyat selain uang.
“Ketika uang menjadi komoditas, dampaknya global. Bencana keuangan di
suatu negara segera bisa merembet ke negara lain. Siapa sekarang orang
kaya di kawasan krisis yang merasa terjamin hingga 7 keturunan? Tak
terbayangkan, uang bisa berlipat kali atau hancur sama sekali hanya
dalam hitungan hari.”
Jika ditarik ke dimensi filosofis, kata Theo, krisis ekonomi adalah
akibat ulah manusia yang menganggap uang sebagai ideologi. Fakta
menunjukkan, miliaran AS $ telah menguap entah ke mana. Lembaga keuangan
banyak yang rugi, Soros rugi, demikian pula para big boy. Tak jelas ke
mana uang-uang itu pergi.
“Inilah tanda-tanda zaman,” kata Theo. “Tuhan kasih antibiotik untuk
mereka yang terlalu menghamba pada uang. Orang kaya pusing, konglomerat
pusing. Rasain.”
Main uang karena ingin menikmati hidup
Terjunnya Theo di kancah pasar uang agaknya tak terduga sebelumnya.
Pria kelahiran Manado, 21 September 1956, ini semula berangan-angan jadi
pastor, tapi dikeluarkan saat naik ke kelas 3 Seminari Menengah Tomohon
tahun 1974. Anak ke-4 dari 7 bersaudara ini sama saja dengan ayah,
paman, para sepupu, dan saudaranya, yang pernah masuk ke seminari namun
gagal jadi pastor. “Saya menanggung harapan besar. Nilai dan aktivitas
sekolah bagus. Maka ibu terguncang dan jatuh sakit ketika saya keluar,”
kenangnya.
Pastor pembimbing waktu itu mengatakan, ia akan lebih sukses hidup di
luar biara. Kendati sedikit menyesalkan keputusan itu, ia berbalik
haluan. Ia melamar ke Bank Indonesia dan diterima di BI cabang Surabaya.
Setelah 2 tahun bekerja, timbul keresahan di antara teman-temannya yang
cuma berijazah SMA. Sebab dengan begitu, mereka tak mungkin bisa masuk
jajaran staf. “Nggak bakal pakai dasi dong seumur-umur,” papar Theo
mengenang.
Nampaknya BI tanggap pada kegalauan itu dan mengadakan seleksi untuk
promosi. Yang lolos akan disekolahkan sejajar dengan universitas. Dari
BI Surabaya lulus 4 orang, salah satunya Theo. Sementara dari seluruh
Indonesia terjaring 60 orang. Mereka dimasukkan ke Pendidikan Ahli
Administrasi dan Keuangan Bank di Jakarta, menjalani pendidikan maraton
dari pukul 08.00 – 17.00 setiap hari dengan fasilitas penuh, selama 3
tahun. “Gelarnya sejajar akuntan, tapi BI nggak kasih gelar, takut kami
keluar.”
Sempat bekerja di bagian pengawasan BI selama setahun, ia kembali
mengikuti seleksi intern guna ditempatkan di London. Dari 40 peserta
hanya Theo yang lulus. Di London ia langsung jadi staf termuda pada umur
23 tahun. Kesempatan di sana ia gunakan untuk mengikuti serangkaian
pelatihan dan praktek. Belajar forex di Paris, London, Amsterdam, dan
Kopenhagen. Mempelajari bank sentral di Denmark dan Belanda, menggeluti
cadangan emas di Swis, juga duduk dan bermain di banyak ruang transaksi
forex. “Waktu itu kepala dealing room Jakarta pindah, jadi saya
disiapkan untuk menggantikannya. Saya sadar, untuk jadi dealer harus
punya pengalaman dan cakrawala dengan duduk di pusat keuangan dunia.”
Penempatan dealer di BI sebenarnya bertujuan untuk mengelola cadangan
devisa sejumlah AS $ 6 miliar dengan menempatkannya di posisi yang
tepat. Bukan untuk memperdagangkannya. “Maka di luar jam kerja, saya
main margin trading atas nama pribadi, bukan BI.”
Setelah 5 tahun bermukim di Inggris, Theo sebenarnya ingin pulang ke
tanah air, tetapi pemerintah Inggris mengetahui reputasinya dan memberi
izin tinggal tetap. Ia bisa bekerja apa saja. “Wah, percaya dirilah
saya. Pekerjaan BI yang diidamkan banyak orang nggak terlalu menggiurkan
lagi,” kata Theo.
Maka, ketika benar-benar pulang ke Indonesia ia sekaligus minta izin
keluar dari BI untuk masuk ke London School of Economics (LSE).
Maksudnya sebagai batu loncatan untuk bekerja di Bank Dunia atau IMF.
Tapi keasyikan bermain forex membuatnya malas bersekolah. “Jiwa saya
player, jadi saya tak jadi masuk LSE meskipun sudah diterima. Saya main
valas terus, dan ingin menikmati hasilnya. Saya ingin menikmati hidup
bukan sebagai pegawai BI yang bertahun-tahun cuma bisa naik mobil
sederhana.”
Saat main margin trading, pertengahan 1980-an, modal dengkul masih
berlaku. Modalnya dipinjami, tapi kalau untung masuk kantung sendiri.
Pokoknya main untuk meramaikan. Masa itu tak sulit mereguk untung
lantaran pasar gampang diterka. Dolar turun searah. Tapi sejak 1987,
peluang meraup keuntungan makin sulit. Selain pemain makin banyak, modal
pun mulai diatur. Saat itulah Bank Duta terpuruk karena permainan
valas.
Soal kesempatan meraup untung memang tak ada yang lebih cepat
daripada main valas. “Saya masih ingat, hanya dengan mengangkat telepon
dari vila di Puncak sambil main gaple dan makan pisang goreng, bisa
dapat AS $ 60.000 semalam.”
Telepon memang diibaratkan cangkulnya buat cari makan. Juga berbagai
perangkat komunikasi. Baik untuk bertransaksi ke seluruh dunia, memantau
pasar yang berjalan 24 jam sehari, juga melihat kerugian dan keuntungan
uangnya. “Tapi hidup saya tak habis di sana. Apa lagi saya harus
membagi pengetahuan kepada banyak orang. Kalau menulis dan bikin
analisis, saya tak main. Saya meramal dan menghitung, biar orang lain
yang dapat keuntungan.”
Theo tak terikat pada suatu lembaga keuangan. Kalau mau main, ia
sendiri yang menentukan. Sejak tahun lalu, ia mendirikan perusahaan jasa
konsultasi pasar uang Speed Currency. Bagi yang ingin tahu atau ingin
main valas boleh jadi pelanggan. Dengan membayar AS $ 100/bulan, Theo
pun memberi analisis dan panduan.
“Cita-cita saya membuat Speed Currency seperti Bloomberg. Ia besar
dan disegani, meski awalnya juga dirintis di garasi,” ia menunjuk garasi
di rumahnya yang berhalaman luas di kawasan Lebak Bulus, Jakarta
Selatan. Ia mempekerjakan 4 orang yang, selain mengolah analisis, juga
bertindak sebagai fund manager. “Mereka jago-jago yang tak bisa dianggap
remeh, karena lewat tangannya sering terjadi transaksi miliaran dolar,”
kata Theo bangga.
Karena bekerja di rumah, Theo tak terikat pada aturan dan jadwal
kerja yang pasti. Ia adalah pegawai bagi dirinya sendiri. Juga pegawai
yang mengantar anak-anak ke sekolah, menemani mereka bepergian, bahkan
mendampingi saat mereka mau tidur.
Theo menganggap, anak-anak lebih memerlukan kebersamaan ketimbang
uang. Tak soal ia telah punya vila di Puncak, Jawa Barat, dan hotel di
atas tanah 10 ha di Manado. Anak-anak pula yang menghadirkan cerita unik
bagi perjalanan hidup Theo. Saat masih di dalam kandungan, kecuali si
bungsu Daniel (hampir 2 bulan), mereka berada di tempat yang jauh dari
rumah. Dari yang sulung tempatnya paling jauh, sampai si bungsu yang
paling dekat. Namun akhirnya semua lahir di Jakarta.
Menurut istrinya, Sandra Pingkan Adriana Lolong (38), si sulung
Monika (12) berada di dalam kandungan saat mereka di New York . “Barulah
2 bulan menjelang melahirkan, saya kembali ke Jakarta,” kata Sandra.
Begitu pula Abi (9) yang dikandung saat mereka tinggal di London. Keisha
(7) anak ketiga, dikandung di Singapura. Sedangkan Dorothea (5)
dikandung sewaktu mereka di Manado. Barulah anak ke-5, Daniel,
menghabiskan seluruh masa janin hingga lahir di Jakarta.
Jumlah anak sampai 5, bagi pasangan Theo dan Sandra juga cerita
tersendiri. Theo memang dari keluarga besar, namun Sandra hanya 2
bersaudara. Setelah kelahiran Abi, keduanya ingin ber-KB. “Tapi apa mau
dikata, kebobolan terus. Selain mengalami beberapa kegagalan, saya pun
pernah kehilangan spiral,” kata Sandra. “Akhirnya, setelah melahirkan
Daniel, saya minta disteril.”
Buat pasangan ini, anak-anak adalah segalanya. Mereka yang terbiasa
memanggil “Papa Theo” adalah rekan sepanjang hidup, sekaligus jadi rem
manakala Theo terlalu keasyikan bermain uang. (G. Sujayanto/A. Heru
Kustara/Mayong S. Laksono)
Hey Everyone,
BalasHapusI've included a list of the most recommended FOREX brokers:
1. Most Recommended Forex Broker
2. eToro - $50 minimum deposit.
Here is a list of the best forex instruments:
1. ForexTrendy - Recommended Probability Software.
2. EA Builder - Custom Indicators Autotrading.
3. Fast FX Profit - Secret Forex Strategy.
Hopefully these lists are helpful to you.
GPS robot [10X increase of the deposit amount]
BalasHapusI just finished a webinar with Mark and his partner, Antony, two days ago and it was AMAZING.
During the webinar Mark and Antony shared their tips to success and answered questions about their new release of the GPS Forex Robot that came out TODAY!