Perlahan Mulai Heboh Beritanya Rupiah Anjlok !!!
Kurs mata uang rupiah dari hari ke hari tampak kian terpuruk,
mendekati tingkat Rp11.000 terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Rabu
(21/8/2013) sore. Rupiah diperdagangkan pada Rp10.945 di pasar spot
antarbank, atau jatuh 215 poin dari sehari sebelumnya.
Di bursa perdagangan Asia, rupiah melemah menjadi Rp10.680 terhadap
dolar AS, titik terendah sejak pertengahan 2009, dari Rp10.495 pada
Selasa (20/8/2013). Di pasar spot antarbank Jakarta sejauh bulan ini
kurs rupiah telah terkoreksi sebesar 6,4% dari Rp10.290 pada awal
Agustus.
Fenomena pelemahan ini juga melanda mata uang negara-negara
berkembang lainnya. Beberapa mata uang telah turun tajam, rupee India
jatuh ke rekor terendah baru untuk ketiga hari berturut-turut mencapai
64,60 terhadap dolar AS pada Rabu.
Rupee India bahkan merupakan mata uang Asia berkinerja terburuk pada
tahun ini. Dalam tiga bulan terakhir saja rupee telah kehilangan sekitar
19,5% dari nilainya terhadap dolar AS.
Demikian pula dengan real Brazil yang telah jatuh ke tingkat terendah
dalam empat tahun, mencapai 2,4282 terhadap dolar AS, tingkat yang
tidak terlihat sejak Maret 2009. Hal yang sama menimpa mata uang lira
Turki, yang turun sekitar 10 persen dari puncaknya pada Februari.
Mata uang negara-negara berkembang sebagian besar telah terpukul
baru-baru ini, karena banyak investor menarik uang mereka dalam
mengantisipasi langkah Federal Reserve AS akan mulai mengurangi stimulus
besarnya, dengan India paling parah karena pertumbuhan yang lambat.
Negara-negara berkembang seperti Indonesia memang telah banyak
menerima aliran dana asing melalui instrumen investasi obligasi,
reksadana, dan saham. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika
dana-dana tersebut tiba-tiba ditarik para pemiliknya.
Sebuah asosiasi bank-bank terkemuka dunia, Institute of International
Finance (IIF), memperkirakan arus masuk bersih modal swasta ke
negara-negara berkembang kemungkinan akan turun US$36 miliar menjadi
US$1,145 triliun pada tahun ini, dan kemudian turun 33 miliar dolar AS
menjadi US$1,112 triliun pada 2014.
Fenomena inilah yang sekarang sedang dihadapi Indonesia dan beberapa
negara berkembang lainnya di kawasan Asia. Sejak krisis moneter melanda
Amerika Serikat pada 2008, negara-negara emerging markets, telah banyak
menikmati aliran dana asing. Dana-dana itu masuk ke Asia, karena melihat
pertumbuhan ekonomi di kawasan ini begitu fantastis.
Indonesia salah satu negara yang menjadi incaran para investor,
karena instrumen investasinya memberikan imbal hasil lebih menarik
dibanding negara lainnya. Sepanjang semester I/2013 dana asing mengalir
cukup deras ke sektor keuangan nasional. Bank Indonesia (BI) mencatat
arus modal masuk (capital inflow) dalam bentuk portofolio mencapai
Rp33,8 triliun pada Januari-April 2013. Angka ini diyakini semakin besar
untuk kumulatif selama semester pertama.
Namun belakangan mulai muncul gejala terjadinya pelarian modal
(capital flight) menyusul rencana Federal Reserve AS untuk mengurangi
stimulus moneternya. Sebelumnya, program pembelian aset oleh the Fed,
yang dikenal sebagai pelonggaran kuantitatif (QE) sebesar US$85
miliar/bulan telah mendorong para investor AS memilih berinvestasi di
luar negeri untuk mencari keuntungan yang lebih tinggi, sehingga
meningkatkan pasar di seluruh dunia.
Faktor Internal
Pelemahan kurs rupiah belakangan ini juga didorong beberapa faktor
internal. Pasar tampak merespon negatif perkembangan kebijakan fiskal
dan moneter, seperti postur Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN) 2014 yang terlalu optimistis dan langkah BI
mempertahankan suku bunga acuan 6,5%.
Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengakui, tekanan di pasar keuangan,
termasuk nilai tukar rupiah, masih berlanjut karena faktor global,
yakni isu pengurangan stimulus dari bank sentral Amerika Serikat serta
faktor domestik, khususnya defisit transaksi berjalan.
Defisit transaksi berjalan merupakan fenomena relatif baru untuk
Indonesia yang selama bertahun-tahun terus membukukan surplus.
Belakangan transaksi berjalan mulai defisit dan merembet ke neraca
pembayaran sehingga menimbulkan sentimen negatif di pasar.
Transaksi berjalan triwulan II-2013 mengalami defisit senilai US$9,8
miliar, naik dari defisit transaksi berjalan triwulan I-2013 senilai
US$5,8 miliar karena tekanan dialami hampir di semua pos. Ini merupakan
defisit transaksi berjalan triwulanan ketujuh berturut-turut sejak
triwulan terakhir 2011.
Defisit transaksi berjalan terjadi akibat nilai ekspor barang dan
jasa lebih kecil dari nilai impor barang dan jasa. Namun, dikaitkan
dengan transaksi modal dan finansial, yakni investasi langsung dan
investasi portofolio, membentuk neraca pembayaran.
Data triwulan II-2013 menunjukkan, defisit neraca pembayaran turun
dari US$6,6 miliar menjadi US$2,47 miliar. Neraca pembayaran belum
surplus lagi seperti pada 2011 dan 2012. Kondisi defisit ini membuat
cadangan devisa berkurang. Cadangan devisa saat ini US$92,671 miliar.
Cadangan devisa pernah mencapai US$124,6 miliar pada Agustus 2011.
Dengan cadangan devisa yang terus menurun, sulit bagi bank sentral
untuk melakukan intervensi di pasar. Meski BI menyatakan bahwa ia terus
berada di pasar, melalui intervensi di pasar valas untuk stabilisasi
nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, diperlukan bauran kebijakan yang
cukup untuk menahan penurunan rupiah lebih lanjut, termasuk peningkatan
suku bunga acuan BI rate.
Beberapa bank sentral telah bertindak untuk menahan kemerosotan mata
uang mereka. Bank sentral Brazil, Turki dan India telah melakukan
intervensi di pasar mata uang dan menaikkan suku bunga utamanya. India
bahkan secara tak terduga melakukan kontrol pada arus keluar dana-dana
asing.
0 comments